Gadis yang Jadi Burung
Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang kaya akan budaya, seni dan karya sastra. Seperti halnya cerita rakyat, hampir setiap wilayah di Indonesia memiliki cerita rakyat yang berbeda, baik itu dari segi isi, bahasa, dan penyajiannya. Setiap daerah memiliki ciri khasnya sendiri, yang pada akhirnya menjadi keanekaragaman.
Berawal dari sebuah kisah cinta seorang gadis dengan pemuda kampung yang kaya, Iya’ah begitulah kedua orang tuanya memanggil gadis itu. Anak semata wayang dari sepasang buruh bercocok tanam ini dikisahkan sebagai gadis paling cantik dikampungnya, yang setiap harinya ditinggalkan ibu-bapaknya berladang. Kesempatan ini digunakan olehnya untuk bertemu sang kekasih yang masih tetangga rumahnya, Mokobovu itulah nama kekasihnya yang selalu datang ke rumah Iya’ah setiap kali orang tuanya pergi berladang. Hubungan yang tidak diketahui orang tuanya ini akhirnya menimbulkan kecurigaan dari orang tuanya Iya’ah, hingga akhirnya hubungan merekapun harus berakhir karena perbedaan strata antara keluarga Iya’ah dan Mokobovu. Suatu ending yang tragis ketika Iya’ah memilih untuk merubah tubuhnya menjadi seekor burung kuning karena merasa malu atas sikap orang tuanya di hadapan Mokobovu.
Cerita rakyat yang bertemakan cinta ini berlatar di sebuah daereh di Sulawesi Tengah, kisah yang diceritakan dengan alur maju ini bersumber dari warga setempat yang dikisahkan kembali kepada anak-cucunya. Dalam cerita ini dikisahkan bahwa ada aturan adat yang telah menjadi nilai sosial yang diangkat bahwa ada tiga hal memalukan yang tidak boleh dilakukan perempuan yang salah satunya adalah seorang wanita tidak boleh berbuat malu dihadapan kekasihnya. Bagi seorang wanita dusun di daerah Sulawesi Tengah, hal memalukan tersebut harus ditebus sekalipun harus dengan nyawanya sendiri. Begitupun dengan yang dilakukan Iya’ah yang rela mengorbankan hidupnya menjadi seekor burung kuning karena merasa malu terhadap kekasihnya. Sebenarnya masalah yang dihadapi Iya’ah ini sederhana, dia hanya malu karena dimarahi orang tuanya dihadapan sang kekasih karena memiliki hubungan dengan seseorang yang tidak sederajat dengan dirinya. Karena telah menjadi aturan adat di kampung tersebut bahwa seorang perempuan tidak boleh berbuat memalukan, maka aturan yang telah mendarah daging dikampung tersebut akan menjadi beban bagi wanita yang mengalaminya. Nilai moral yang ingin ditanamkan dalam aturan adat ini bahwa perempuan haruslah memiliki manner yang baik dihadapan siapapun, yaitu menunjukkan tindak-tanduk yang terhormat sebagai wanita yang layak dihargai oleh kaum laki-laki. Seperti pada kenyataan yang ada sekarang ini, kaum laki-laki sudah tidak begitu menghormati perempuan sebagai makhluk istimewa lagi, salah satu penyebabnya adalah karena faktor perubahan zaman, namun tidak hanya itu saja, hal ini terjadi karena perempuannya itu sendiri yang tidak menunjukkan kalau dririnya layak dihargai oleh kaum lelaki. Misalnya saja dari cara berpakain, banyak perempuan yang tidak memperhatikan etika berpakaian, berprilaku yang tidak terhormat atau bahkan secara tidak langsung merendahkan drajatnya sendiri sebagai seorang perempuan.
Dalam cerita ini tidak hanya aturan adat, namun tampak kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat, yaitu dengan adanya rasa rendah diri ketika bersanding dengan orang yang dipandang terhormat dari segi materi. Kesenjangan yang terjadi antara keluarga Iya’ah terhadap keluarga Mokobovu mengingatkan saya bahwa sejak dulu perbedaan strata itu sudah mulai diterapkan, untuk membedakan orang dilihat dari segi tertentu. Hal ini terjadi tidak hanya dalam cerita saja, namun pada kenyataan yang terjadi sekarang bahwa realita seperti itu memang benar-benar terjadi. Kita bisa melihat contoh nyata kesenjangan antara seorang pejabat dengan rakyat biasa. Diakui atau tidak, strata itu membedakan manusia dalam segala hal, terutama dalam pemerolehan haka asasi. Seperti halnya hukum yang lebih berpihak pada orang-orang berdasi dari pada rakyat jelata.
Cerita ini mengajarkan banyak hal, bahwa strata itu hanya akan membuat kita berbeda. Mungkin banyak hal diduna ini yang sangat memalukan jika dilakukan oleh seseorang, namun menghukum diri bukanlah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah, meskipun hal itu dipandang sebagai salah satu bentuk tanggung jawab dirinya atas kesalahan yang diperbuatnya. Tidak serta merta suatu aturan adat diterapkan jika tidak ada maksud tertentu, karena pada dasarnya aturan itu dibuat untuk kebaikan orang-orang yang ada di lingkungan tersebut. Jika dalam cerita ini seorang Iya’ah menebus rasa malunya dengan merubah dirinya menjadi seekor burung kuning yang pergi meninggalkan rumahnya, suatu perbuatan yang diluar logika, seorang manusia bisa berubah wujud hanya dengan mandi air kunyit dari tujuh tempayan. Hal ini diikuti oleh Mokobovu yang mengakhiri hidupnya setelah tahu kalau kekasihnya menjelma menjadi seekor burung sebagai sebuah tindakan yang merupakan suatu indikasi begitu lekatnya aturan adat menyatu dalam kehidupan seseorang.
Nama : Nopi Yulianti
NPM : 102121034
Kelas : 2A