ngeusian heula blog mengpeung bulan kabisat, kan jarang jarang update blog di hari kabisat...
tapi artikel naon nya anu kudu dieusikeunna da urang mah bingung,,, geus mentok otakna teu mahi... lah nu penting mah aya eusian, ke mah gampang di editna,,
Wednesday, 29 February 2012
Friday, 10 February 2012
Senja Berakhir Di Matamu
24 Januari 2011
Cerpen
Senja Berakhir Di Matamu
Siang ini, kuteruskan kembali membuka halaman demi halaman dari buku harian seseorang yang kini tengah terbaring dihadapanku. Dalam diamnya dia begitu tenang, setenang cairan glukusa yang mengalir dalam arterinya. Seteratur oksigen yang masuk kedalam paru-parunya, tapi dia hanya diam, kedua matanya tetap tertutup. Namun dari buku harinnya yang ku pinjam darinya―mencuri lebih tepatnya― kutemukan mimpinya yang tersimpan lewat kata, sebuah buku yang tak bernyawa ini menuturkannya kepadaku, betapa hebatnya dia! Hingga kini harus bernasib sama seperti bukunya itu, bisu. . .diam terpaku.
Sesekali aku tersenyum dengan catatannya, terkadang pula sampai meneteskan air mata. Sepertinya, jiwannya telah berpindah pada buku itu. Kalau dipertanyakan antara salah dan benar tentang perbuatanku ini yang dengan sengaja membaca buku harian orang lain, ya jelas salah! Tapi bagaimanapun juga aku harus tahu tentangnya, tentang jiwa yang sepertinya tersusun dari lapisan baja.
Pluk!
Sebuah foto yang terjatuh dari halaman akhir buku itu membuatku terhenyak kaget. Wajah seorang ibu dan anak yang terlihat jelas dalam foto itu. Aku tersenyum, mengingatkanku pada sang bunda, sebuah kerunduan melasak dalam hatiku. Beruntungnya aku masih memiliki seorang bunda, begitulah pikirku yang membuat air mataku merebak. Suatu ketika, saat aku menanyakan tentang foto itu padanya, dengan tenang dia menceritakan semuanya yang disertai dengan mata yang berkaca-kaca, ingin sekali aku menarik kembali pertanyaanku itu bila akhirnya akan membuka luka lama sahabatku ini.
Alaram di ponselku berbunyi, kututupkan buku harian itu lalu menyimpannya di meja yang berada disamping tempat tidurnya.
“Aku pergi dulu Nja” Kataku, sebelum meninggalkan ruangan itu.
* * *
Aku kembali melihat jam tanganku. Sepertinya waktu terlalu cepat berputar, atau jam tanganku yang mulai tidak jujur. Yang benar saja? Aku telah menunggunya selama 3 jam?. Heran, tidak sedikitpun aku merasa jenuh, mungkin karena ruangan ini terlalu nyaman, pantas saja orang yang pernah menjabat diruangan ini enggan untuk dilengserkan, ternyata karena terlalu nyamannya bisa membuat kita lupa waktu, atau bahkan lupa diri. Tidak, sepertinya aku terlalu berburuk sangka. Saat aku mendengar pintu yang dibuka, refleks aku langsung berdiri. Seseorang yang kutunggu akhirnya datang juga.
“Untuk keberapa kalinya kau menyusup ke ruangan saya?”
“Saya tidak menyusup! Satpam anda yang mengizinkan saya masuk.”
“Kebohongan apa lagi yang kau buat?”
“Saya katakan padanya kalau anda ingin bertemu dengan saya.”
“Lalu, semudah itu dia percaya?”
“Apa anda lupa bagaimana etika menerima seorang tamu? Setidaknya kita tidak berbicara didepan pintu dalam keadaan berdiri.” Jawabku dengan tenang. Karena aku yakin, sebuah kemenangan telah didepan mataku, dan aroma kekalahan akan segera menguap dari lelaki paruh baya ini.
Dengan langkah arogannya dia hanya mempersilahkan duduk dengan gerakan alis dan bola matanya.
“Terimakasih.”
“Apa lagi maksud kedatanganmu kesini?”
“Masih membahas masalah yang sama.”
Orang yang ada dihadapanku mengeluarkan cerutunya, dinyalakannya pemantik untuk membakar tembakaunya.
“Sepertinya sudah selesai.” Begitulah katanya sambil meniupkan asap dari mulutnya.
“Sepertinya belum.”
Dia tersenyum angkuh.
“Rupanya kau ingin memperpanjang masalah!”
“Iya! Kenapa? Anda takut?”
“Kamu mengancam saya?” orang yang ada dihadapan saya mendekatkan wajahnya, suaranya lebih terdengar seperti geraman.
“Apa ada kata ancaman dari pertanyaan saya? Coba anda tunjukan kata mana yang salah sehingga membuat anda takut seperti ini?”
Orang ini malah terbahak, seperti ada lelucon yang menggelitik hatinya. Aku hanya memandangnya, mengikuti setiap gerik langkah kakinya.
“Orang bahasa memang pintar berkelit.” Lanjutnya sambil terus tertawa.
“Baguslah kalau anda ingat kalau saya orang bahasa, anda juga tidak lupa kan bahwa bahasa lebih mematikan daripada sebuah peluru?”
“Benar sekali, lalu sehebat apa kemampuan bahasamu anak kecil?”
“Sudahlah, jangan menanyakan tentang kemampuan karena di dunia ini memang tidak ada neraca untuk mengukurnya, saya tidak terlalu senang berlama-lama disini.” Aku mengeluarkan sebuah map haijau dari tasku. Map yang hanya berisi beberapa lembar kertas yang bermaterai.
“Saya tidak pernah sepakat dengan keputusan Anda.” Seraya menaruh― lebih tepatnya melempar―map itu ke atas meja.
“Keputusan saya memang tidak untuk disepakati, saya berhak menghapuskan segala sesuatu yang sekiranya akan merusak nama baik ―”
“Nama baik anda???” Aku memotong pembicaraannya.
Orang yang ada dihadapan saya tersenyum sinis. Menakutkan. Lalu merubah posisi duduknya, beranjak menuju jendela yang berada disudut ruangan sambil meniupkan asap rokoknya.
“Kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan.” Responnya datar.
“Lalu anda? Salah mengambil kesimpulan dan salah bertindak?”
“Tidak ada alasan untukmu berkata seperti itu pada saya!” Kali ini nadanya sedikit naik. Dia beranjak lagi dari posisinya, sepertinya saat ini dia sedang gusar dengan kehadiranku disini.
“Apakah ditutupnya majalah kampus bukan suatu alasan yang cukup kuat sehingga saya berkata seperti itu pada anda?”
“Kamu ingin tau alasan kenapa saya menutup majalah kampus?”
Aku sedikit kaget, lagi-lagi orang ini mendekatkan wajahnya kearahku. Mukanya yang masam, suaranya yang menggeram, dan bau rokok dari desahan nafasnya membuatku enek!. Tidak ada jawaban dariku, hanya tatapanku saja yang mengisyaratkan kalau aku memang butuh jawaban bukan alasan!
“Karena kau selalu melanggar kode etik!” Jawabnya ringan, sedkit centil dengan gayanya yang seolah-olah dia telah menang dari aku.
“Kode etik apa? Yang saya lakukan ini tidak pernah keluar dari kode etik seorang wartawan.”
“Kode etik kampus ini!”
“Kode etik anda! Karena anda merasa tersinggung dengan tulisan-tulisan kami. Harusnya anda tidak perlu khawatir, karena belum tentu anda yang kami bahas dalam tulisan itu. Mungkin anda saja yang―”
“Hah! Profesi sebagai wanita penghibur nampaknya jauh lebuh baik dari profesi kamu!”
Apa?! Barusan bandot tua ini bilang apa? Wanita penghibur??!!
“Setidaknya lebih baik daripada seorang kolektor lonte!”
“Hati-hati kalau bicara!”
“Hati-hati juga dalam bertindak, jangan sampai meninggalkan jejak!”
[to be continue ]
Terkubur jasadmu kini
Tenggelam dalam laut luka
Wangi lara berbunga layu
Kuasa Tuhan seakan siksa
Kereta senja telah menjemput
Membawa engkau kesana
Selamat tinggal kekasihku
Taburkan bunga untukmu”
Mataku melihat kau terbang
Terbang bersama sang malaikat
Titiplah daku dalam hatimu
Walau tak sempat sampaikan rindu untuk selama-lamanya
Karya : N Y
Wednesday, 8 February 2012
Topeng Nalar
Nopeng, itulah keinginan terbeasar Nalar dalam cerpen Topeng Nalar karya Fransisca Dewi Ria Utari. Keinginan itu tumbuh ketika Nalar melihat ibu dan neneknya nopeng di kampung. Sejak saat itulah dia meminta untuk diajarkan nopeng kepada ibunya, namun keinginannya itu ditolak paksa, karena menurut ibunya profesi sebagai penari topeng cukup diwariskan nenek Nalar kepada dirinya saja. Selain karena profesi nopeng yang kini sudah jarang ditanggap orang, ritual untuk menjadi seorang penari topeng pun cukup berat, mulai dari puasa mutih, ngrowot, Senin-Kamis, belum lagi dalam waktu-waktu tertentu harus tidur di lantai tanpa alas, hingga tapa kungkum. Hanya karena kebutuhan perutlah Ibu Nalar mau menjadi seorang penari topeng.
Topeng Nalar yang bertemakan sosial tentang kehidupan sebuah keluarga yang beban hidupnya ditanggung oleh tokoh Aku yang bekerja sebagai buruh pabrik, sesekali masih memenuhi panggilan untuk menari topeng dan tayub. Di mata sebagian orang, kedua profesi itu bukanlah profesi yang terhormat. Tapi apa pedulinya pandangan orang dengan profesinya itu, yang jelas mereka dapat menyambung hidup dari profesi itu, terutama ketika Nalar mendadak sakit sehabis menonton ibunya manggung disebuah acara.
Inilah yang sangat dihawatirkan oleh Ibu Nalar, ketika putrinya melihat aksi panggungnya yang begitu centil merayu para lelaki. Nalar yang menyaksikan kejadian itu bersama Danu kakaknya yang tidak jelas siapa ayahnya, langsung diseret pulang ibunya. Pedahal, kalau saja kedua anaknya tidak memergoki diriya manggung, malam itu dirinya bisa meraup keuntungan yang luar biasa dari para lelaki yang menatapnya penuh dengan birahi, lelaki hidung belang yang senang main serong.
Beban seorang ibu yang harus menghidupi ibu dan kedua orang anaknya, dengan profesi yang sangat bertentangan dengan nuraninya disajikan dengan apik. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, Fransisca cukup rapi mengemas konflik batin yang dialami oleh tokoh Aku. Ketika profesinya sebagai penari dipandang hina oleh sebagian orang, dia pun tidak ingin anaknya mengikuti jejak dirinya. Dia tidak ingin anaknya menjadi penari sama seperti dirinya. Memang, jika dilihat dari kacamata agama profesi sebagai penari topeng dan penari tayub bertentangan dengan hukum Islam. Tokoh Aku dalam cerpen ini ingin menanamkan sebuah konsep tentang baik-buruk, dengan cara menentang keras keinginan anaknya untuk menjadi seorang penari topeng. Nalar, yang baru berusia tujuh tahun itu dilarang belajar menari tanpa diberi penjelasan yang lebih logis tentang alasan tidak bolehnya itu.
Dari cerita ini pendidikan moral yang diajarkan ibunya tidak membekas sama sekali pada diri anaknya, hal ini karena apa yang diajarkan oleh tokoh Aku tidak dicontohkan kepada anaknya. Justru sebaliknya, sang ibu malah melakukan profesi yang dikatakan kepada anaknya bahwa profesi sebagi seorang penari topeng itu tidak baik. Sebenarnya, itu merupakan respon yang wajar dari seorang anak, karena masa anak-anak adalah masanya meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa. Nasihat yang diberikan kepada seorang anak akan nampak seperti omong kosong belaka jika yang menasihati tidak bisa mencontohkan.
Profesi seorang penari topeng memang tidak salah, yang salah adalah ketika para penari itu membiarkan dirinya dijamah oleh para penonton. Seperti yang dilakukan oleh tokoh Aku yang berprofesi sebagi penari topeng, dia tidak ingin anaknya bernasib sama seperti dirinya. Dia tahu, profesi itu tidak baik dan diapun sebisa mungkin merahasiakannya dari anak-anaknya ketika dirinya harus manggung disuatu acara. Semua ini dilakukannya semata-mata agar anaknya tidak mencontoh perbuatannya, dan tidak melihat ibu mereka digerayangi oleh tangan-tangan lelaki yang memberikan saweran. Ibu mana pun tidak akan rela anaknya memiliki profesi yang tidak terhormat seperti itu, sekalipun sang ibu berprofesi tidak terhormat. Hanya cara mengarahkan dan membimbing sang anak yang perlu diperhatikan oleh orang tua agar anak tersebut bisa diarahkan ke arah yang lebih baik.
Oleh N Y
Tuesday, 7 February 2012
Paman Doblang Mengungkap Kisah ORBA
Indonesia adalah negara yang telah memproklamasikan dirinya sebagai negara hukum, dimana segala sesuatunya diperhitungkan berdasarkan hukum-hukum yang berlaku. Berbagai hukum yang pada awalnya dibentuk untuk melindungi hak-hak warga negara, kini keberadaannya mulai semu. Sebuah pasal yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum, pada kenyataannya tidak seperti itu. Hukum yang berlaku saat ini seperti sebuah pisau yang samakin bawah semakin runcing.
Hukum saat ini mengingatkan saya pada sejarah kelam yang pernah dialami Bangsa Indonesia, tepatnya pada masa Orde Baru. Orde Baru merupakan sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia yang berlangsung dari tahun 1966-1998. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Berakhirnya masa pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru ditandai dengan adanya pembunuhan masal terhadap orang-orang PKI atau siapapun yang dicurigai sebagai PKI. Tragedi politik tahun 1965 merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terbesar yang lebih dikenal dengan sebutan G30S, telah menewaskan lebih dari setengah juta jiwa ini menjadi bagian sejarah dari Bangsa Indonesia yang digelapkan, karena siapa dalang dari kasus itu masih simpang siur. Ada berbagai versi yang mengisahkan tentang sejarah itu, bahkan jumlah pasti korban pembunuhannya pun tidak diketahui, dan anehnya kasus besar yang memalukan ini luput begitu saja dari jeratan hukum.
Dari berbagai referensi yang saya baca, rezim Orde Baru ini memberengus siapa saja yang tidak sepaham dengan Soeharto. Semua kegiatan patriotik yang membahayakan terhadap kedudukan Soeharto dianggap sebagai kegiatan subversif. Semua pihak yang menyampaikan kritik atau menentang rezim Orba dalam bentuk apapun langsung ditangkap dan diasingkan. Mereka dihukum atas nama negara, dan mengalami berbagai penyiksaan tanpa diadili terlebih dahulu. Di kampus-kampus, mahasiswa-aktivis diteror. Kelompok-kelompok diskusi diinteli. Kebudayaan tak dihargai. Semua perbedaan diingkari dan harus diberangus. Pers harus ikut apa kata Harmoko dan para pelayan Soeharto: Kritisisme haram. Korupsi tak dianggap kriminal, KKN bukan pelanggaran etika dan moral. Siapa pun yang jadi bagian pemerintah, antek-antek Soeharto pasti aman dan bebas melakukan kejahatan atau pelanggaran.Tetapi para aktivis, budayawan, kelompok professional, mereka sadar rezim Soeharto kejam, tiran, anti demokrasi, dan anti-HAM. Perlawanannya pun beragam. Ada yang frontal dan ada yang berdemo langsung melawan rezim Orde Baru. Sebagian lagi bergerak lewat bawah tanah. Ruang diskusi memencar tak hanya di gedung hotel-hotel mewah, tetapi juga ke rumah-rumah dan kantong budaya.
Masa-masa demikian, puisi jadi medium ekspresi. Ada berbagai macam puisi yang diciptakan, salah satunya puisi pamphlet yang langsung bermain dengan bahasa yang terang-benderang dan sedapat mungkin menghasut.
Seperti halnya Rendra yang selalu lantang menyuarakan aspirasinya untuk menentang Rezim Orba melalui puisi-puisinya. Inilah salah satu caranya dalam berpartisipasi dalam menghapuskan kekejian dari sebuah kekuasaan. Dan visualisasi dari puisi Rendra mencapai puncaknya pada puisi Paman Doblang! Itulah zaman dimana kekuasaan dapat memenjarakan orang sesuka hati.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap.
Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya.
Pengap.
Ada hawa.
Tak ada angkasa
Terkucil.
Begitulah Rendra menyerukan nama Paman Doblang yang tidak lain adalah dirinya sendiri dan orang-orang yang senasib dengan dirinya hingga harus mendekam dalam sel yang gelap. Mereka yang ditahan tidak hanya sekedar ditahan tetapi mengalamai penyiksaan secara brutal dan kejam seperti dipukuli sampai babak belur, bahkan dalam sebuah sumber dikatakan bahwa mereka dicambuk dengan buntut ikan pari, disetrum, kuku dicopot, direndam di bak yang penuh lintah sampai akhirnya yang bernasib sial mati ditembak atau ditenggelamkan di laut. Tentu saja proses interogasi tidak didampingi oleh pengacara, dan terserah kapan saja tentara yang memanggilnya. Mereka melakukannya dengan seenak hati. Untuk merendahkan harga diri tahanan, umumnya mereka diinterograsi sambil telanjang, tidak terkecuali tahanan wanita.
Para “pangeran dari kereta kencana” yang disebutkan oleh Rendra dalam puisinya seperti memiliki kuasa penuh atas hidup-matinya seseorang.
Kamu dikutuk dan disalahkan. Tanpa pengadilan.
Begitulah gambaran Paman Doblang-Paman Doblang yang menentang rezim Orba. Waktu itu hukum seperti beku, tidak berfungsi sebagai mana mestinya melindungi rakyat.
“bubur di piring timah didorong dengan kaki ke depanmu”
Kalimat itulah yang membuat saya berspekulasi kalau pada masa itu ketika HAM direnggut oleh para penguasa, para tahanan itu pun diperlakukan layaknya seekor binatang.
Di mata saya, rezim Orde Baru jauh lebih brutal daripada kisah para tahanan Hitler. Sebenarnya, hukum di Indonesia pada zaman sekarang pun masih belum berjalan sebagaimana fungsi dan tujuannya. Saat ini pun “Paman Doblang” itu masih ada, namun dalam bentuk perjuangan yang lain. Ketika masa Orba KKN itu dilakukan secarang sembunyi-sembunyi sehingga sulit untuk terkontrol, saat ini KKN dilakukan secara terang-terangan, dan seperti bukan hal aneh lagi, sekalipun KPK yang notabene dibentuk untuk memberantas korupsi. Bahkan lebih parahnya lagi, untuk penjemputan sang koruptor, negara kita menggunakan uang rakyat! Ironis! Itulah Indonesia yang selalu menghadirkan sejarah yang ada-ada saja.
Oleh N Y
Monday, 6 February 2012
Pencurian Tari Pendet, Memanaskan Tungku yang Sudah Panas
Kasus ‘pencurian’ berbagai kebudayaan Indonesia yang dilakukan oleh negara tetangga kini semakin merajalela. Beberapa waktu lalu, negara ini dihebohkan dengan polemik mengenai kepemilikan yang sah dari kesenian Reog. Kemudian bermunculan polemik-polemik yang lain, seperti klaim terhadap lagu Rasa Sayange yang sudah dijadikan theme song oleh Malaysia dalam kunjungan wisata mereka, tidak hanya itu negara tetangga juga mengklaim bahwa batik, angklung, dan yang paling baru adalah Tari Pendet dari Bali yang diklaim melalui momentum formal kenegaraan. Persoalan seperti ini masih berpeluang untuk terjadi kembali dan dilakukan oleh negara tetangga yang lainnya. Ini merupakan cambuk bagi pemerintahan untuk melakukan introspeksi atas ketahanan dan kepedulian terhadap kebudayaan yang notabene adalah warisan dari nenek moyang.
Kasus yang sering muncul di media masa ini ternyata dapat diangkat menjadi sebuah karya sastra, jika disajikan dengan bahasa yang telah dilentur-lenturkan oleh pengarangnya sehingga dapat menyentuh rasa dan meninggalkan kesan estetik. Seperti Pendet cerpen karya Putu Wijaya yang terinspirasi dari kasus Malaysia yang mengklaim tarian tradisional Bali melalui media promosi. Dalam cerpen ini penulis menghadirkan sosok Ami yang begitu fulgar meluapkan kemarahannya terhadap Malaysia. Tokoh Ami ini dihadapkan dengan tokoh yang memberikan sudut pandang lain terhadap kasus ‘pencurian’ kebudayaan yang dilakukan oleh Malaysia, Amat itulah tokoh yang selalu berbentrokan dengan cara berfikirnya Ami. Bagi Amat, segala sesuatu sekalipun tindakan kriminal memiliki sisi positif yang dapat kita ambil, misalnya saja dengan adanya klaim dari Malaysia negara kita disadarkan kembali bahwa Tari Pendet sudah lama kita abaikan.
Kisah yang diangkat dari realitas ini tidak akan menarik jika tidak dikemas dengan bahasa yang baik. Pemilihan kata yang tepat memiliki kekuatan tersendiri dalam penyampaian makna kepada pembaca, seperti pemilihan kata ganyang yang terdapat dalam kalimat Kita tidak tahan lagi, kita harus ganyang!. Secara harfiah kata itu berarti makan, yaitu istilah yang digunakan untuk orang yang makan dengan penuh ambisi. Namun kata ganyang ini mengalami pergesran makna dari kata makan menjadi serang. Sebenarnya penulis bisa saja menggunakan kata lawan atau serbu, tetapi kata itu kurang memiliki daya tarik tersendiri.
Untuk memperindah kalimat dalam cerpen tersebut digunakan istilah seperti bangsa kelas kambing, yaitu bangsa budak yang tidak memiliki harga diri. Istilah itu digunakan karena bangsa kita seperti dijadikan mainan untuk bangsa lain khususnya negara tetangga, misalnya saja dalam kasus TKI atau TKW yang disiksa oleh majikannya, atau tenaga kerja yang dirampas haknya. Sehingga tepat jika penulis mengibaratkan kalau bangsa ini bangsa kelas kambing. Dalam kemarahan Ami, penulis mengungkapkan istilah memanaskan tungku yang sudah panas, disini jelas terlihat emosi yang begitu meluap yang diredam dengan istilah tersebut. Dapat kita pahami makna dari istilah tersebut bahwasanya memanaskan tungku yang sudah panas itu berarti menambah kecau keadaan sehingga menambah kemarahan Bangsa Indonesia terhadap polemik kebudayaan yang dicuri negara tetangga.
Cerita pendek mengenai polemik kebudayaan ini disusun rapi dengan kalimat-kalimat yang mudah untuk dipahami oleh pembaca, karena tidak mengandung banyak majas dan kata-kata yang sulit untu dipahami. Kata yang digunakan kebanyakan adalah kata yang sudah lumrah digunakan kehidupan sehari-hari. Jika diperhatikan lebih jeli lagi, dalam cerpen ini terdapat kalimat yang kurang padu misalnya Jangan cepat darah tinggi! Kalimat itu akan lebih padu jika dirubah menjadi jangan cepat naik darah! Darah tinggi dan naik darah adalah dua istilah yang berbeda, tapi jika istilah darah tinggi yang digunakan terdengar seperti sebuah penyakit. Penyair nampaknya senang menggunakan kalimat yang lugas dan tegas, tidak mendayu-dayu dalam mendeskripsikan cerita. Ini terlihat dari awal hingga akhir cerita yang penuh ketegangan, bahkan disini hanya disajikan konflik saja dan menjadikan cerita ini terasa kurang sempurna. Pembaca seperti dibawa kedalam ketegangan sebuah perdebatan antara tokoh Ami dan Amat, tanpa ada jeda untuk menghela nafas, menikmati pemansan dan pendinginan dari cerita tersebut.
Dari cerpen ini pembaca dihadapkan pada dua kenyataan, yang pertama bahwa Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya dengan berbagai warisan budayanya telah banyak kebobolan akibat kelalaian dan kurangnya perhatian terhadap kebudayaan yang dimilikinya. Hal yang memalukannya adalah ketika bangsa lain mengklaim kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaannya, Indonesia baru bergerak untuk membela diri bahwa itu adalah miliknya. Sungguh ironis, karena sebelum ada yang mengklaim tentang kebudayaan itu Indonesia seperti acuh tak acuh terhadap budayanya sendiri. Yang kedua yaitu, dengan adanya klaim dari negara lain yang mengakui kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaannya membuat Indonesia melek kembali, dan sudah saatnya bangsa kita membuat hak paten untuk segala sesuatu yang berhubungan kebudayaan bangsa agar tidak terjadi ‘pencurian’ kebudayaan lagi.
Oleh N Y
Subscribe to:
Posts (Atom)