Nopeng, itulah keinginan terbeasar Nalar dalam cerpen Topeng Nalar karya Fransisca Dewi Ria Utari. Keinginan itu tumbuh ketika Nalar melihat ibu dan neneknya nopeng di kampung. Sejak saat itulah dia meminta untuk diajarkan nopeng kepada ibunya, namun keinginannya itu ditolak paksa, karena menurut ibunya profesi sebagai penari topeng cukup diwariskan nenek Nalar kepada dirinya saja. Selain karena profesi nopeng yang kini sudah jarang ditanggap orang, ritual untuk menjadi seorang penari topeng pun cukup berat, mulai dari puasa mutih, ngrowot, Senin-Kamis, belum lagi dalam waktu-waktu tertentu harus tidur di lantai tanpa alas, hingga tapa kungkum. Hanya karena kebutuhan perutlah Ibu Nalar mau menjadi seorang penari topeng.
Topeng Nalar yang bertemakan sosial tentang kehidupan sebuah keluarga yang beban hidupnya ditanggung oleh tokoh Aku yang bekerja sebagai buruh pabrik, sesekali masih memenuhi panggilan untuk menari topeng dan tayub. Di mata sebagian orang, kedua profesi itu bukanlah profesi yang terhormat. Tapi apa pedulinya pandangan orang dengan profesinya itu, yang jelas mereka dapat menyambung hidup dari profesi itu, terutama ketika Nalar mendadak sakit sehabis menonton ibunya manggung disebuah acara.
Inilah yang sangat dihawatirkan oleh Ibu Nalar, ketika putrinya melihat aksi panggungnya yang begitu centil merayu para lelaki. Nalar yang menyaksikan kejadian itu bersama Danu kakaknya yang tidak jelas siapa ayahnya, langsung diseret pulang ibunya. Pedahal, kalau saja kedua anaknya tidak memergoki diriya manggung, malam itu dirinya bisa meraup keuntungan yang luar biasa dari para lelaki yang menatapnya penuh dengan birahi, lelaki hidung belang yang senang main serong.
Beban seorang ibu yang harus menghidupi ibu dan kedua orang anaknya, dengan profesi yang sangat bertentangan dengan nuraninya disajikan dengan apik. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, Fransisca cukup rapi mengemas konflik batin yang dialami oleh tokoh Aku. Ketika profesinya sebagai penari dipandang hina oleh sebagian orang, dia pun tidak ingin anaknya mengikuti jejak dirinya. Dia tidak ingin anaknya menjadi penari sama seperti dirinya. Memang, jika dilihat dari kacamata agama profesi sebagai penari topeng dan penari tayub bertentangan dengan hukum Islam. Tokoh Aku dalam cerpen ini ingin menanamkan sebuah konsep tentang baik-buruk, dengan cara menentang keras keinginan anaknya untuk menjadi seorang penari topeng. Nalar, yang baru berusia tujuh tahun itu dilarang belajar menari tanpa diberi penjelasan yang lebih logis tentang alasan tidak bolehnya itu.
Dari cerita ini pendidikan moral yang diajarkan ibunya tidak membekas sama sekali pada diri anaknya, hal ini karena apa yang diajarkan oleh tokoh Aku tidak dicontohkan kepada anaknya. Justru sebaliknya, sang ibu malah melakukan profesi yang dikatakan kepada anaknya bahwa profesi sebagi seorang penari topeng itu tidak baik. Sebenarnya, itu merupakan respon yang wajar dari seorang anak, karena masa anak-anak adalah masanya meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa. Nasihat yang diberikan kepada seorang anak akan nampak seperti omong kosong belaka jika yang menasihati tidak bisa mencontohkan.
Profesi seorang penari topeng memang tidak salah, yang salah adalah ketika para penari itu membiarkan dirinya dijamah oleh para penonton. Seperti yang dilakukan oleh tokoh Aku yang berprofesi sebagi penari topeng, dia tidak ingin anaknya bernasib sama seperti dirinya. Dia tahu, profesi itu tidak baik dan diapun sebisa mungkin merahasiakannya dari anak-anaknya ketika dirinya harus manggung disuatu acara. Semua ini dilakukannya semata-mata agar anaknya tidak mencontoh perbuatannya, dan tidak melihat ibu mereka digerayangi oleh tangan-tangan lelaki yang memberikan saweran. Ibu mana pun tidak akan rela anaknya memiliki profesi yang tidak terhormat seperti itu, sekalipun sang ibu berprofesi tidak terhormat. Hanya cara mengarahkan dan membimbing sang anak yang perlu diperhatikan oleh orang tua agar anak tersebut bisa diarahkan ke arah yang lebih baik.
Oleh N Y
No comments:
Post a Comment