24 Januari 2011
Cerpen
Senja Berakhir Di Matamu
Siang ini, kuteruskan kembali membuka halaman demi halaman dari buku harian seseorang yang kini tengah terbaring dihadapanku. Dalam diamnya dia begitu tenang, setenang cairan glukusa yang mengalir dalam arterinya. Seteratur oksigen yang masuk kedalam paru-parunya, tapi dia hanya diam, kedua matanya tetap tertutup. Namun dari buku harinnya yang ku pinjam darinya―mencuri lebih tepatnya― kutemukan mimpinya yang tersimpan lewat kata, sebuah buku yang tak bernyawa ini menuturkannya kepadaku, betapa hebatnya dia! Hingga kini harus bernasib sama seperti bukunya itu, bisu. . .diam terpaku.
Sesekali aku tersenyum dengan catatannya, terkadang pula sampai meneteskan air mata. Sepertinya, jiwannya telah berpindah pada buku itu. Kalau dipertanyakan antara salah dan benar tentang perbuatanku ini yang dengan sengaja membaca buku harian orang lain, ya jelas salah! Tapi bagaimanapun juga aku harus tahu tentangnya, tentang jiwa yang sepertinya tersusun dari lapisan baja.
Pluk!
Sebuah foto yang terjatuh dari halaman akhir buku itu membuatku terhenyak kaget. Wajah seorang ibu dan anak yang terlihat jelas dalam foto itu. Aku tersenyum, mengingatkanku pada sang bunda, sebuah kerunduan melasak dalam hatiku. Beruntungnya aku masih memiliki seorang bunda, begitulah pikirku yang membuat air mataku merebak. Suatu ketika, saat aku menanyakan tentang foto itu padanya, dengan tenang dia menceritakan semuanya yang disertai dengan mata yang berkaca-kaca, ingin sekali aku menarik kembali pertanyaanku itu bila akhirnya akan membuka luka lama sahabatku ini.
Alaram di ponselku berbunyi, kututupkan buku harian itu lalu menyimpannya di meja yang berada disamping tempat tidurnya.
“Aku pergi dulu Nja” Kataku, sebelum meninggalkan ruangan itu.
* * *
Aku kembali melihat jam tanganku. Sepertinya waktu terlalu cepat berputar, atau jam tanganku yang mulai tidak jujur. Yang benar saja? Aku telah menunggunya selama 3 jam?. Heran, tidak sedikitpun aku merasa jenuh, mungkin karena ruangan ini terlalu nyaman, pantas saja orang yang pernah menjabat diruangan ini enggan untuk dilengserkan, ternyata karena terlalu nyamannya bisa membuat kita lupa waktu, atau bahkan lupa diri. Tidak, sepertinya aku terlalu berburuk sangka. Saat aku mendengar pintu yang dibuka, refleks aku langsung berdiri. Seseorang yang kutunggu akhirnya datang juga.
“Untuk keberapa kalinya kau menyusup ke ruangan saya?”
“Saya tidak menyusup! Satpam anda yang mengizinkan saya masuk.”
“Kebohongan apa lagi yang kau buat?”
“Saya katakan padanya kalau anda ingin bertemu dengan saya.”
“Lalu, semudah itu dia percaya?”
“Apa anda lupa bagaimana etika menerima seorang tamu? Setidaknya kita tidak berbicara didepan pintu dalam keadaan berdiri.” Jawabku dengan tenang. Karena aku yakin, sebuah kemenangan telah didepan mataku, dan aroma kekalahan akan segera menguap dari lelaki paruh baya ini.
Dengan langkah arogannya dia hanya mempersilahkan duduk dengan gerakan alis dan bola matanya.
“Terimakasih.”
“Apa lagi maksud kedatanganmu kesini?”
“Masih membahas masalah yang sama.”
Orang yang ada dihadapanku mengeluarkan cerutunya, dinyalakannya pemantik untuk membakar tembakaunya.
“Sepertinya sudah selesai.” Begitulah katanya sambil meniupkan asap dari mulutnya.
“Sepertinya belum.”
Dia tersenyum angkuh.
“Rupanya kau ingin memperpanjang masalah!”
“Iya! Kenapa? Anda takut?”
“Kamu mengancam saya?” orang yang ada dihadapan saya mendekatkan wajahnya, suaranya lebih terdengar seperti geraman.
“Apa ada kata ancaman dari pertanyaan saya? Coba anda tunjukan kata mana yang salah sehingga membuat anda takut seperti ini?”
Orang ini malah terbahak, seperti ada lelucon yang menggelitik hatinya. Aku hanya memandangnya, mengikuti setiap gerik langkah kakinya.
“Orang bahasa memang pintar berkelit.” Lanjutnya sambil terus tertawa.
“Baguslah kalau anda ingat kalau saya orang bahasa, anda juga tidak lupa kan bahwa bahasa lebih mematikan daripada sebuah peluru?”
“Benar sekali, lalu sehebat apa kemampuan bahasamu anak kecil?”
“Sudahlah, jangan menanyakan tentang kemampuan karena di dunia ini memang tidak ada neraca untuk mengukurnya, saya tidak terlalu senang berlama-lama disini.” Aku mengeluarkan sebuah map haijau dari tasku. Map yang hanya berisi beberapa lembar kertas yang bermaterai.
“Saya tidak pernah sepakat dengan keputusan Anda.” Seraya menaruh― lebih tepatnya melempar―map itu ke atas meja.
“Keputusan saya memang tidak untuk disepakati, saya berhak menghapuskan segala sesuatu yang sekiranya akan merusak nama baik ―”
“Nama baik anda???” Aku memotong pembicaraannya.
Orang yang ada dihadapan saya tersenyum sinis. Menakutkan. Lalu merubah posisi duduknya, beranjak menuju jendela yang berada disudut ruangan sambil meniupkan asap rokoknya.
“Kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan.” Responnya datar.
“Lalu anda? Salah mengambil kesimpulan dan salah bertindak?”
“Tidak ada alasan untukmu berkata seperti itu pada saya!” Kali ini nadanya sedikit naik. Dia beranjak lagi dari posisinya, sepertinya saat ini dia sedang gusar dengan kehadiranku disini.
“Apakah ditutupnya majalah kampus bukan suatu alasan yang cukup kuat sehingga saya berkata seperti itu pada anda?”
“Kamu ingin tau alasan kenapa saya menutup majalah kampus?”
Aku sedikit kaget, lagi-lagi orang ini mendekatkan wajahnya kearahku. Mukanya yang masam, suaranya yang menggeram, dan bau rokok dari desahan nafasnya membuatku enek!. Tidak ada jawaban dariku, hanya tatapanku saja yang mengisyaratkan kalau aku memang butuh jawaban bukan alasan!
“Karena kau selalu melanggar kode etik!” Jawabnya ringan, sedkit centil dengan gayanya yang seolah-olah dia telah menang dari aku.
“Kode etik apa? Yang saya lakukan ini tidak pernah keluar dari kode etik seorang wartawan.”
“Kode etik kampus ini!”
“Kode etik anda! Karena anda merasa tersinggung dengan tulisan-tulisan kami. Harusnya anda tidak perlu khawatir, karena belum tentu anda yang kami bahas dalam tulisan itu. Mungkin anda saja yang―”
“Hah! Profesi sebagai wanita penghibur nampaknya jauh lebuh baik dari profesi kamu!”
Apa?! Barusan bandot tua ini bilang apa? Wanita penghibur??!!
“Setidaknya lebih baik daripada seorang kolektor lonte!”
“Hati-hati kalau bicara!”
“Hati-hati juga dalam bertindak, jangan sampai meninggalkan jejak!”
[to be continue ]
Terkubur jasadmu kini
Tenggelam dalam laut luka
Wangi lara berbunga layu
Kuasa Tuhan seakan siksa
Kereta senja telah menjemput
Membawa engkau kesana
Selamat tinggal kekasihku
Taburkan bunga untukmu”
Mataku melihat kau terbang
Terbang bersama sang malaikat
Titiplah daku dalam hatimu
Walau tak sempat sampaikan rindu untuk selama-lamanya
Karya : N Y
No comments:
Post a Comment