Tuesday, 7 February 2012

Paman Doblang Mengungkap Kisah ORBA

Indonesia adalah negara yang telah memproklamasikan dirinya sebagai negara hukum, dimana segala sesuatunya diperhitungkan berdasarkan hukum-hukum yang berlaku. Berbagai hukum yang pada awalnya dibentuk untuk melindungi hak-hak warga negara, kini keberadaannya mulai semu. Sebuah pasal yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum, pada kenyataannya tidak seperti itu. Hukum yang berlaku saat ini seperti sebuah pisau yang samakin bawah semakin runcing.

Hukum saat ini mengingatkan saya pada sejarah kelam yang pernah dialami Bangsa Indonesia, tepatnya pada masa Orde Baru. Orde Baru merupakan sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia yang berlangsung dari tahun 1966-1998. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Berakhirnya masa pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru ditandai dengan adanya pembunuhan masal terhadap orang-orang PKI atau siapapun yang dicurigai sebagai PKI. Tragedi politik tahun 1965 merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terbesar yang lebih dikenal dengan sebutan G30S, telah menewaskan lebih dari setengah juta jiwa ini menjadi bagian sejarah dari Bangsa Indonesia yang digelapkan, karena siapa dalang dari kasus itu masih simpang siur. Ada berbagai versi yang mengisahkan tentang sejarah itu, bahkan jumlah pasti korban pembunuhannya pun tidak diketahui, dan anehnya kasus besar yang memalukan ini luput begitu saja dari jeratan hukum.

Dari berbagai referensi yang saya baca, rezim Orde Baru ini memberengus siapa saja yang tidak sepaham dengan Soeharto. Semua kegiatan patriotik yang membahayakan terhadap kedudukan Soeharto dianggap sebagai kegiatan subversif. Semua pihak yang menyampaikan kritik atau menentang rezim Orba dalam bentuk apapun langsung ditangkap dan diasingkan. Mereka dihukum atas nama negara, dan mengalami berbagai penyiksaan tanpa diadili terlebih dahulu. Di kampus-kampus, mahasiswa-aktivis diteror. Kelompok-kelompok diskusi diinteli. Kebudayaan tak dihargai. Semua perbedaan diingkari dan harus diberangus. Pers harus ikut apa kata Harmoko dan para pelayan Soeharto: Kritisisme haram. Korupsi tak dianggap kriminal, KKN bukan pelanggaran etika dan moral. Siapa pun yang jadi bagian pemerintah, antek-antek Soeharto pasti aman dan bebas melakukan kejahatan atau pelanggaran.Tetapi para aktivis, budayawan, kelompok professional, mereka sadar rezim Soeharto kejam, tiran, anti demokrasi, dan anti-HAM. Perlawanannya pun beragam. Ada yang frontal dan ada yang berdemo langsung melawan rezim Orde Baru. Sebagian lagi bergerak lewat bawah tanah. Ruang diskusi memencar tak hanya di gedung hotel-hotel mewah, tetapi juga ke rumah-rumah dan kantong budaya.

Masa-masa demikian, puisi jadi medium ekspresi. Ada berbagai macam puisi yang diciptakan, salah satunya puisi pamphlet yang langsung bermain dengan bahasa yang terang-benderang dan sedapat mungkin menghasut.

Seperti halnya Rendra yang selalu lantang menyuarakan aspirasinya untuk menentang Rezim Orba melalui puisi-puisinya. Inilah salah satu caranya dalam berpartisipasi dalam menghapuskan kekejian dari sebuah kekuasaan. Dan visualisasi dari puisi Rendra mencapai puncaknya pada puisi Paman Doblang! Itulah zaman dimana kekuasaan dapat memenjarakan orang sesuka hati.

Paman Doblang! Paman Doblang!
Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap.
Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya.
Pengap.
Ada hawa.
Tak ada angkasa
Terkucil.

Begitulah Rendra menyerukan nama Paman Doblang yang tidak lain adalah dirinya sendiri dan orang-orang yang senasib dengan dirinya hingga harus mendekam dalam sel yang gelap. Mereka yang ditahan tidak hanya sekedar ditahan tetapi mengalamai penyiksaan secara brutal dan kejam seperti dipukuli sampai babak belur, bahkan dalam sebuah sumber dikatakan bahwa mereka dicambuk dengan buntut ikan pari, disetrum, kuku dicopot, direndam di bak yang penuh lintah sampai akhirnya yang bernasib sial mati ditembak atau ditenggelamkan di laut. Tentu saja proses interogasi tidak didampingi oleh pengacara, dan terserah kapan saja tentara yang memanggilnya. Mereka melakukannya dengan seenak hati. Untuk merendahkan harga diri tahanan, umumnya mereka diinterograsi sambil telanjang, tidak terkecuali tahanan wanita.

Para “pangeran dari kereta kencana” yang disebutkan oleh Rendra dalam puisinya seperti memiliki kuasa penuh atas hidup-matinya seseorang.
Kamu dikutuk dan disalahkan. Tanpa pengadilan.
Begitulah gambaran Paman Doblang-Paman Doblang yang menentang rezim Orba. Waktu itu hukum seperti beku, tidak berfungsi sebagai mana mestinya melindungi rakyat.
“bubur di piring timah didorong dengan kaki ke depanmu”
Kalimat itulah yang membuat saya berspekulasi kalau pada masa itu ketika HAM direnggut oleh para penguasa, para tahanan itu pun diperlakukan layaknya seekor binatang.

Di mata saya, rezim Orde Baru jauh lebih brutal daripada kisah para tahanan Hitler. Sebenarnya, hukum di Indonesia pada zaman sekarang pun masih belum berjalan sebagaimana fungsi dan tujuannya. Saat ini pun “Paman Doblang” itu masih ada, namun dalam bentuk perjuangan yang lain. Ketika masa Orba KKN itu dilakukan secarang sembunyi-sembunyi sehingga sulit untuk terkontrol, saat ini KKN dilakukan secara terang-terangan, dan seperti bukan hal aneh lagi, sekalipun KPK yang notabene dibentuk untuk memberantas korupsi. Bahkan lebih parahnya lagi, untuk penjemputan sang koruptor, negara kita menggunakan uang rakyat! Ironis! Itulah Indonesia yang selalu menghadirkan sejarah yang ada-ada saja.

Oleh N Y

No comments: