Monday, 6 February 2012

Pencurian Tari Pendet, Memanaskan Tungku yang Sudah Panas

Kasus ‘pencurian’ berbagai kebudayaan Indonesia yang dilakukan oleh negara tetangga kini semakin merajalela. Beberapa waktu lalu, negara ini dihebohkan dengan polemik mengenai kepemilikan yang sah dari kesenian Reog. Kemudian bermunculan polemik-polemik yang lain, seperti klaim terhadap lagu Rasa Sayange yang sudah dijadikan theme song oleh Malaysia dalam kunjungan wisata mereka, tidak hanya itu negara tetangga juga mengklaim bahwa batik, angklung, dan yang paling baru adalah Tari Pendet dari Bali yang diklaim melalui momentum formal kenegaraan. Persoalan seperti ini masih berpeluang untuk terjadi kembali dan dilakukan oleh negara tetangga yang lainnya. Ini merupakan cambuk bagi pemerintahan untuk melakukan introspeksi atas ketahanan dan kepedulian terhadap kebudayaan yang notabene adalah warisan dari nenek moyang.


Kasus yang sering muncul di media masa ini ternyata dapat diangkat menjadi sebuah karya sastra, jika disajikan dengan bahasa yang telah dilentur-lenturkan oleh pengarangnya sehingga dapat menyentuh rasa dan meninggalkan kesan estetik. Seperti Pendet cerpen karya Putu Wijaya yang terinspirasi dari kasus Malaysia yang mengklaim tarian tradisional Bali melalui media promosi. Dalam cerpen ini penulis menghadirkan sosok Ami yang begitu fulgar meluapkan kemarahannya terhadap Malaysia. Tokoh Ami ini dihadapkan dengan tokoh yang memberikan sudut pandang lain terhadap kasus ‘pencurian’ kebudayaan yang dilakukan oleh Malaysia, Amat itulah tokoh yang selalu berbentrokan dengan cara berfikirnya Ami. Bagi Amat, segala sesuatu sekalipun tindakan kriminal memiliki sisi positif yang dapat kita ambil, misalnya saja dengan adanya klaim dari Malaysia negara kita disadarkan kembali bahwa Tari Pendet sudah lama kita abaikan.

Kisah yang diangkat dari realitas ini tidak akan menarik jika tidak dikemas dengan bahasa yang baik. Pemilihan kata yang tepat memiliki kekuatan tersendiri dalam penyampaian makna kepada pembaca, seperti pemilihan kata ganyang yang terdapat dalam kalimat Kita tidak tahan lagi, kita harus ganyang!. Secara harfiah kata itu berarti makan, yaitu istilah yang digunakan untuk orang yang makan dengan penuh ambisi. Namun kata ganyang ini mengalami pergesran makna dari kata makan menjadi serang. Sebenarnya penulis bisa saja menggunakan kata lawan atau serbu, tetapi kata itu kurang memiliki daya tarik tersendiri.

Untuk memperindah kalimat dalam cerpen tersebut digunakan istilah seperti bangsa kelas kambing, yaitu bangsa budak yang tidak memiliki harga diri. Istilah itu digunakan karena bangsa kita seperti dijadikan mainan untuk bangsa lain khususnya negara tetangga, misalnya saja dalam kasus TKI atau TKW yang disiksa oleh majikannya, atau tenaga kerja yang dirampas haknya. Sehingga tepat jika penulis mengibaratkan kalau bangsa ini bangsa kelas kambing. Dalam kemarahan Ami, penulis mengungkapkan istilah memanaskan tungku yang sudah panas, disini jelas terlihat emosi yang begitu meluap yang diredam dengan istilah tersebut. Dapat kita pahami makna dari istilah tersebut bahwasanya memanaskan tungku yang sudah panas itu berarti menambah kecau keadaan sehingga menambah kemarahan Bangsa Indonesia terhadap polemik kebudayaan yang dicuri negara tetangga.

Cerita pendek mengenai polemik kebudayaan ini disusun rapi dengan kalimat-kalimat yang mudah untuk dipahami oleh pembaca, karena tidak mengandung banyak majas dan kata-kata yang sulit untu dipahami. Kata yang digunakan kebanyakan adalah kata yang sudah lumrah digunakan kehidupan sehari-hari. Jika diperhatikan lebih jeli lagi, dalam cerpen ini terdapat kalimat yang kurang padu misalnya Jangan cepat darah tinggi! Kalimat itu akan lebih padu jika dirubah menjadi jangan cepat naik darah! Darah tinggi dan naik darah adalah dua istilah yang berbeda, tapi jika istilah darah tinggi yang digunakan terdengar seperti sebuah penyakit. Penyair nampaknya senang menggunakan kalimat yang lugas dan tegas, tidak mendayu-dayu dalam mendeskripsikan cerita. Ini terlihat dari awal hingga akhir cerita yang penuh ketegangan, bahkan disini hanya disajikan konflik saja dan menjadikan cerita ini terasa kurang sempurna. Pembaca seperti dibawa kedalam ketegangan sebuah perdebatan antara tokoh Ami dan Amat, tanpa ada jeda untuk menghela nafas, menikmati pemansan dan pendinginan dari cerita tersebut.

Dari cerpen ini pembaca dihadapkan pada dua kenyataan, yang pertama bahwa Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya dengan berbagai warisan budayanya telah banyak kebobolan akibat kelalaian dan kurangnya perhatian terhadap kebudayaan yang dimilikinya. Hal yang memalukannya adalah ketika bangsa lain mengklaim kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaannya, Indonesia baru bergerak untuk membela diri bahwa itu adalah miliknya. Sungguh ironis, karena sebelum ada yang mengklaim tentang kebudayaan itu Indonesia seperti acuh tak acuh terhadap budayanya sendiri. Yang kedua yaitu, dengan adanya klaim dari negara lain yang mengakui kebudayaan Indonesia sebagai kebudayaannya membuat Indonesia melek kembali, dan sudah saatnya bangsa kita membuat hak paten untuk segala sesuatu yang berhubungan kebudayaan bangsa agar tidak terjadi ‘pencurian’ kebudayaan lagi.

Oleh N Y

No comments: